Produk Andalan

Selamat Datang di IMB Online Shop

  • Indonesian Magick Brotherhood adalah wadah bagi pecinta supernatural untuk mengembangkan budaya supranatural di Nusantara
  • Mengedepankan khasanah budaya metafisika Nusantara pada khususnya agar layak menjadi salah satu aset budaya bagi negeri ini.
  • Mengurai segala bentuk sisi buram yang selama ini terpinggirkan.
  • Agar dapat digunakan sesuai kebutuhan dan keyakinan..

Sabtu, 19 November 2011

Amulet Narada Purana



..::|| Amulet Narada Purana ||::..


Keterangan :

Begawan Narada adalah seorang bijak yang diberi keistimewaan oleh para dewa; ia bisa bolak-balik surga-dunia kapan pun ia suka karena kedekatan hubungannya dengan para ‘petinggi’ di sana. Betara Brahma, Sang Pencipta, pun mengangkatnya sebagai ‘anak’. Begawan Narada juga memiliki hubungan istimewa dengan Betara Wisnu.

Pada suatu hari Begawan Narada nampak tergesa-gesa menuju surga, tepatnya ke Istana Betara Wisnu. Setelah memberi salam dan hormatnya kepada Sang Betara dan Sri Laksmi—yang selalu setia mendampingi di sebelahnya, Begawan Narada tanpa membuang-buang waktu mengungkapkan kegelisahannya, “Oh Wisnu, Sang Pemelihara Jagat, Sumber Kehidupan ijinkan hamba bertanya!”

Betara Wisnu tersenyum lalu mempersilakan Begawan Narada meneruskan pertanyaannya. Jarang-jarang Begawan yang biasanya selalu ceria dan murah senyum itu gelisah.

“Betara, hamba baru saja kembali dari kunjungan hamba ke marcapada, ke dunia. Belakangan, hamba merasa tidak betah berlama-lama di sana. Hamba tidak habis pikir dengan tingkah polah manusia yang tinggal di sana. Mereka begitu terikat oleh dunia, kesadaran mereka dikaburkan oleh maya. Berkali-kali hamba mencoba menyadarkan mereka, namun sia-sia.”

Betara Wisnu mendengar dengan seksama. Sesekali ia mengangguk-angguk. Begawan Narada melanjutkan, “Oh Betara, hilangkanlah kegelisahan hamba. Hamba ingin memahami kemahadayaan maya!”

Betara Wisnu melirik dan tersenyum ke arah Sri Laksmi, dan kemudian menjawab singkat, “Baiklah Narada. Mari ikutlah bersamaku.” Betara Wisnu bangkit dari singgasana kobranya dan berjalan menuju gapura istana.

Betara Wisnu mengajak Narada turun ke dunia. Mereka berdua menyamar sebagai dua pengelana. Mereka pergi dari satu tempat ke tempat lain sambil memperhatikan dan menjelaskan apa yang terjadi di muka bumi. Mereka berpindah dari pasar dan kota-kota yang hiruk pikuk oleh segala aktifitas perdagangan, ke gunung-gunung tempat para pertapa menempa diri, ke hutan-hutan yang berkanopi lebat hingga akhirnya mereka sampai di tepian gurun pasir yang tandus.

Sampai di sana, Begawan Narada masih belum sepenuhnya memahami penjelasan Betara Wisnu tentang maya. Betara Wisnu pun kemudian memutuskan untuk beristirahat d bawah sebuah pohon yang agak rindang. Setelah sejenak beristirahat, Betara Wisnu kemudian berkata, “Narada, aku kehausan. Bisakah kau mengambilkanku segelas air putih untuk ku minum. Aku melihat ada sebuah dusun kecil tak jauh dari sini. Aku akan menunggumu di sini.”

Begawan Narada kemudian mohon pamit dan segera bergegas menuju ke dusun tersebut. Tak lama kemudian ia pun sampai. Tak ingin membuat Betara Wisnu menunggu terlalu lama, ia kemudian mengetuk pitu rumah pertama yang dilihatnya. Ia pun segera mengetuk pintu dan memanggil penghuni rumah.

Terdengar suara perempuan dari dalam, “Sebentar!” Begawan Narada menjadi tak-sabaran. Tak beberapa lama kemudian seorang perempuan yang sangat cantik membukakan pintu. Kecantikannya melebihi bidadari surga teranggun yang pernah Begawan Narada lihat. Seketika, ia lupa akan tujuan awal kedatangannya ke sana.

Singkat cerita, Begawan Narada kemudian melamar perempuan itu. Pesta besar-besaran pun digelar untuk merayakannya. Sang Begawan kemudian memulai hidup berumah tangga. Ia merasa begitu bahagaia, terlupakan sudah Betara Wisnu yang sedang menunggui kedatangannya.

Bulan demi bulan berlalu dengan cepat, istri Sang Begawan pun mengandung dan kemudian lahirlah anak pertamanya. Dengan cepat segalanya berubah, Sang Begawan harus mulai mencari nafkah. Ia pun mulai sibuk menggarap ladang, mencari air, memanen dan kemudian menjual hasil ladangnya ke kota terdekat.

Tak terasa tahun demi tahun pun berlalu. Mereka pun memiliki beberapa anak lagi dan kebutuhan pun membengkak, Sang Begawan harus bekerja lebih keras lagi. Setelah menikmati kesuksesan, Sang Begawan pun berhasil mendirikan rumah yang lebih besar dan indah buat keluarganya.

Musim berganti musim, malam berganti siang, dua belas tahun berlalu begitu saja. Suatu waktu dusun tempat tinggal Begawan Narada didatangi musim penghujan yang ganjil. Tidak seperti biasanya awan gelap disertai hujan bertahan lebih dari tiga hari. Hujan yang awalnya disambut suka cita itu kemudian berubah menjadi bencana.

Banjir menyapu ladang-ladang dan dan mengisi kali-kali di sekitar dusun. Tak lama kemudian luapan air bah tanpa ampun mulai menyapu beberapa rumah warga, termasuk rumah Sang Begawan. Di arus deras dan pusaran air yang berwarna kehitaman itu Sang Begawan tidak hanya kehilangan harta benda yang sempat dikumpulkannya selama bertahun-tahun, tapi ia juga terpisah dengan anak-anak dan istrinya yang tenggelam, tersapu banjir deras.

Hancur hati dan sedih, Begawan Narada memasrahkan dirinya dibawa arus air. Ia memilih mati saja. Ia kemudian menutup matanya dan berhenti melawan.

Tak lama kemudian, Sang Begawan tersadar dan ia membuka matanya. Sayup-sayup ia mendengar suara yang tidak asing lagi. Suara itu miliki Betara Wisnu, “Narada, apa yang terjadi? Mana air putih yang ku minta? Hampir satu jam aku menunggumu namun kau tak juga kembali. Ternyata aku menemukanmu di sini, di tepian telaga ini. Apa yang terjadi?”

Begawan Narada menyadari bahwa apa yang ia alami hanyalah mimpi. Ia bahkan bermimpi di dalam mimpinya. Ia kemudian menceritakan apa yang dialaminya. Belum selesai bercerita, ia kemudian menyadari bahwa Betara Wisnu sudah mengetahui apa yang hendak ia sampaikan—malah ia-lah sebenarnya sang sutradara di balik itu semua. Begawan Narada kemudian tersungkur di bawah kaki Betara Wisnu dan memohon maaf.

Betara Wisnu menatap dan menyentuh kepala Narada dengan penuh kasih sambil berkata, “Sekarang, kau baru memahami kemahadayaan maya.” Narada pun mengangguk. Mereka pun melanjutkan perjalanan kembali ke surga.



Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai tambura, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna. Dalam tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai bhakti yogaseperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagaiNarad Bhakti Sutra.

Menurut legenda, Narada dipandang sebagai Manasputra, merujuk kepada kelahirannya 'dari pikiran Dewa Brahma', atau makhluk hidup pertama seperti yang digambarkan dalam alam semesta menurut Purana. Ia dihormati sebagai Triloka sanchaari, atau pengembara sejati yang mengarungi tiga dunia yaitu Swargaloka (surga), Mrityuloka (bumi) danPatalloka (alam bawah). Ia melakukannya untuk menemukan sesuatu mengenai kehidupan dan kemakmuran orang. Ia orang pertama yang melakukan Natya Yoga. Ia juga dikenal sebagai Kalahapriya.

Narada Muni memiliki posisi penting yang istimewa di antara tradisi Waisnawa. Dalam kitab-kitab Purana, ia termasuk salah satu dari dua belas Mahajana, atau 'pemuja besar' Dewa Wisnu. Karena ia adalah gandharva dalam kehidupan dahulu sebelum ia menjadiResi, ia berada dalam kategori Dewaresi.

Bhagawatapurana menceritakan pencerahan spiritual yang dialami Narada: Dalam kehidupannya yang dulu, Narada adalah gandarwa (sejenis malaikat) yang dikutuk agar lahir di planet bumi karena melanggar sesuatu. Maka ia kemudian lahir sebagai putera seorang pelayan yang khusus melayani pendeta suci (brahmin). Para pendeta yang berkenan dengan pelayanan Narada dan ibunya, memberkahinya dengan mengizinkannya memakan sisa makanan mereka (prasad) yang sebelumnya dipersembahkan kepada dewa mereka, yaituWisnu.

Perlahan-lahan Narada menerima berkah dan berkah lagi dari para pendeta tersebut, dan mendengarkan mereka memperbincangkan banyak topik mengenai spiritual. Lalu pada suatu hari, ibunya meninggal karena digigit ular, dan karena menganggap itu adalah perbuatan Dewa (Wisnu), ia memutuskan untuk pergi ke hutan demi mencari pencerahan agar memahami 'Kebenaran yang paling mutlak'.

Ketika di dalam hutan, Narada menemukan tempat yang tenang, dan setelah melepaskan dahaga dari sungai terdekat, ia duduk di bawah pohon dan bermeditasi (yoga), berkonsentrasi kepada wujud paramatma Wisnu di dalam hatinya, seperti yang pernah diajarkan oleh para pendeta yang pernah dilayaninya. Setelah beberapa lama, Narada melihat sebuah penampakan, dimana Narayana (Wisnu) muncul di depannya, tersenyum, dan berkata bahwa 'meskipun ia memiliki anugerah untuk melihat wujud tersebut pada saat itu juga, Narada tidak akan dapat melihat wujudnya (Wisnu) lagi sampai ia mati'. Narayana kemudian menjelaskan bahwa kesempatan yang diberikan agar Narada dapat melihat wujudnya disebabkan oleh keindahan dan rasa cintanya, dan akan menjadi sumber inspirasi dan membakar keinginannya yang terlelap untuk bersama sang dewa lagi. Setelah memberi tahu Narada dengan cara tersebut, Wisnu kemudian menghilang dari pandangannya. Narada bangun dari meditasinya dengan terharu sekaligus kecewa.

Selama sisa hidupnya Narada memusatkan rasa baktinya, bermeditasi, dan menyembah Wisnu. Setelah kematiannya, Wisnu menganugerahinya dengan wujud spiritual "Narada", yang kemudian dikenal banyak orang. Dalam beberapa susastra Hindu, Narada dianggap sebagai penjelmaan (awatara) dewa, dan berkuasa untuk melakukan tugas-tugas yang ajaib atas nama Wisnu.

Narada dalam pewayangan, antara lain yang berkembang di Jawa, dilukiskan dengan bentuk tubuh cebol bulat, berwajah tua, dengan kepala menengadah ke atas. Dalam versi ini narada menduduki jabatan penting dalam kahyangan, yaitu sebagai penasihat dan "tangan kanan" Batara Guru, raja kahyangan versi Jawa.

Menurut naskah Paramayoga, Batara Narada adalah putra Sanghyang Caturkaneka. Ayahnya adalah sepupu Sanghyang Tunggal, ayah dari Batara Guru. Pada mulanya Narada berwujud tampan. Ia bertapa di tengah samudera sambil memegang pusaka pemberian ayahnya, bernama cupu Linggamanik. Hawa panas yang dipancarkan Narada sempat membuat kahyangan geger. Batara Guru mengirim putra-putranya untuk membangunkan Narada dari tapanya. Akan tetapi tidak seorang pun dewa yang mampu memenuhi perintah tersebut. Mereka terpaksa kembali dengan tangan hampa. Batara Guru memutuskan untuk berangkat sendiri untuk menghentikan tapa Narada. Narada pun terbangun. Keduanya kemudian terlibat perdebatan seru. Batara Guru yang merasa kalah pandai marah dan mengutuk Narada sehingga berubah wujud menjadi jelek. Sebaliknya, karena Narada telah dikutuk tanpa penyebab yang jelas, Batara Guru pun menderita cacad berlengan empat.(Sebenarnya bertangan 4 ini adalah pengejawantahan dari malaikat papat, Jibril Mikail Izrail Israfil). Ia pun sadar bahwa Narada memang lebih pandai darinya. Maka, ia pun memohon maaf dan meminta Narada supaya sudi tinggal di kahyangan sebagai penasihatnya.

Dalam pentas pedalangan, tempat tinggal Batara Narada disebut dengan nama Kahyangan Sidiudal-udal. Atau Sidik pangudal udal.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Narada


Benefit :

-Chaneling

-Kemampuan supranatural

-Kedamaian spiritual

-Kerahayuan

-Kerejekian


Pantangan :




Mahar IDR 2.680.000
_____________________
Member IMB Discount 10%

0 komentar:

Posting Komentar

 

IMB Shop © 2013 | Web Development by Jasa Buat Blog Murah - Jasa Pembuatan Blog - Jasa Buat Blog Toko Online